Kamis, 14 Januari 2016

Bersyukur

Ada seorang anak. Di usianya sekitar satu tahun, dia harus menerima kenyataan. Bahwa, ada flek di paru-parunya. Di usianya yang satu tahun, dia harus menelan obat-obat kimia setiap hari, agar paru-parunya bersih. Setengah tahun berlalu, dan ternyata pemeriksaan medis mengatakan bahwa masih ada flek di paru-parunya. Hingga ia harus menelan obat-obat lagi selama setengah tahun lagi. Baru setelah itu paru-parunya bersih.
Waktu berlalu, di usianya yang menginjak kepala dua, dia sadar, paru-parunya tak sekuat temannya yang lain. Setiap kali terkena hawa dingin, hujan, asap, maka ia akan batuk. Dan sekali batuk, butuh waktu lama untuk sembuh. Dia sadar, napasnya lebih pendek dibandingkan teman-temannya yang lain. Sehingga ia, ketika membaca Al Qur’an sering tidak bisa menyelesaikan satu ayat dalam satu tarikan napas. Ia sadar, ketika stress dan tekanan mendera, dia akan merasa sesak di dadanya. Ia sadar akan hal itu. Tetapi, ia takut untuk sekedar memperiksakan dirinya ke dokter.
Satu hal yang sering membuatnya heran. Ketika ia melihat beberapa saudara dan temannya merusak paru-paru sehat mereka sedikit demi sedikit. Ia hanya ingin mengatakan:
“ Kenapa kalian merusak suatu hal yang orang lain sangat menginginkannya? Tak bisakah kalian merawatnya sebagai tanda syukur kalian atas apa yang sudah diberi? “
Ya, karena ada banyak orang yang bahkan sangat ingin menghirup udara bebas dengan nyaman. Yang sangat ingin berpetualang tetapi terkendala kondisi fisik.
Hidup itu anugerah. Kita lahir dalam keadaan baik. Dan kita harus menjaga itu dengan sebaik-baiknya. Pada dasarnya, apa yang ada dalam diri kita bukanlah milik kita. Hanya sebuah titipan yang sewaktu-waktu dapat diambil.

The Human

Amanah. Mungkin memang sedang ingin membahas tema ini daripada yang lainnya. Amanah. Seperti apa dia? Bagiku, amanah adalah suatu janji, komitmen, perjanjian. Suatu janji agar terus menjadi sang pengemban amanah dengan baik. Komitmen, bahwa apapun yang terjadi tidak akan merubah sikap kita saat mengemban amanah itu. Perjanjian, bahwa saat kita mengemban amanah dengan sebaik-baiknya, kita telah memenangkan diri kita sendiri.
 
Well. Mungkin karena itulah, dalam ruang lingkup organisasi saya lebih cenderung untuk memilih satu organisasi. Menjadi bagian dari suatu oganisasi, bagi saya bukan hanya tentang jabatan, waktu, pikiran, atau tenaga yang terkuras. Tetapi lebih kepada suatu pengabdian. Makanya, ada sedikit kekhawatiran bagaimana kalau tidak bisa menjalankan dengan baik. Tetapi, lebih dari itu semua. Yang terpenting adalah niatnya. Untuk apa masuk ke dalam suatu organisasi? Mengemban amanah yang beratnya melebihi berat dari sebuah gunung? Sekali lagi, itu kembali pada tujuan dan niat dari masing-masing orang.
 
Human. Manusia sejatinya sejak lahir telah diberi amanah. Menjadi khalifah di muka bumi. Mejadi pemimpin atas dirinya sendiri. Dan beribadah pada Sang Maha Pencipta.

History

Kalau boleh memilih, aku akan membiarkan diriku tenggelam pada suatu lautan buku-buku sejarah peradaban Islam, konspirasi, ensiklopedi tentang kota-kota yang ada di dunia. Ada banyak kesenangan dan suatu rasa penasaran yang terus mendera ketika kita tahu, bahwa apa yang kita ketahui selama ini masih sangat sedikit. Ada rasa kekaguman dan bangga, ketika kita tahu bahwa umat Muslim pernah berjaya.
 
Mungkin menyenangkan, ketika kita terbang, mengembara menuju Damaskus. Melihat bagaimana adilnya seorang Khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Cucu dari salah seorang khulafaurrasyidin Umar Bin Khattab. Atau melihat salah seorang khalifah dari Dinasti Umayyah membangun masjid dengan Kubah Emas di dekat Masjidil Aqsa.
 
Terbang menuju tempat lain. Menuju tempat permulaan Baitul Hikmah dibangun atas perintah Khalifah Abdullah Al Ma’mun. Menuju negeri asal cerita Aladin bermula. Menuju sebuah kota yang terlebih dahulu terang benderang, teratur, dan penuh dengan keilmuan di zamannya. Sementara, di waktu yang sama, Eropa dilanda kegelapan.
 
Atau melihat keberanian dan kelembutan Salahuddin Al Ayyubi? Pahlawan Islam, merebut Yerussalem dan menunjukkan suatu sisi yang luar biasa. Bagaimana mungkin, ada seorang panglima yang mau merawat musuhnya bahkan mengobatinya? Tapi itulah Salahuddin Al Ayyubi. Ingin terbang ke Yerussalem dan merasakan bagaimana kedamaian pernah bersemi di tempat itu.
 
Terbang menuju tempat lain. Tempat yang menjadi saksi,bahwa beratus-ratus tahun sebuah tembok bediri gagah, tak bisa dijebol, dan menjadi lambang keagungan suatu Imperium akhirnya tunduk pada seorang Pemimpin yang dikatakan sebagai sebaik-baiknya pemipin. Dan pasukannya dikatakan sebagai sebaik-baiknya pasukan. Muhammad Al Fatih membuktikan itu. bahwa ketika keberanian berlandaskan iman yang kuat, akhlak yang baik, niat yang mulia akan membuahkan suatu hasil yang menakjubkan. Meski caranya tak masuk diakal memang. Memindahkan kapal tempur melalui suatu bukit hanya dalam waktu satu malam. Tapi itulah yang terjadi.
 
Atau menjadi saksi supremasi Islam dalam ilmu pengetahuan. Ibnu Sina atau Avicenna, bapak kedokteran. Ibnu Rusyd atau Averroes, bapak renaissance Eropa. Terbang menuju The real city of light. Menyaksikan, lambang kesedihan saat suatu masjid dirubah fungsinya menjadi gereja. Menyaksikan bagaimana mencekamnya ketika Raja Ferdinand dan Ratu Isabella memaksa ribuan umat Muslim merubah keyakinannya.
 
 Atau terbang ke tempat universitas Islam yang usianya ratusan tahun. Al Azhar. Menyaksikan bagaimana sungai Nil telah menjadi saksi sejarah panjang yang telah terjadi.
 
Atau mengembara ke suatu negeri yang telah disebutkan dalam suatu hadist. China, saksi bisu bagaimana seorang Laksamana Muslim yang bijaksana menyebarkan Islam.
 
Dan tak akan pernah terlepas pada dua tempat yang selalu bercahaya. Mekkah Al Mukaromah dan Madinatun Nabawi. Dua tempat dimana semua perjalanan ini dimulai. Dua tempat yang sangat istimewa. Dua tempat yang mempunyai sejarah sangat impresif.
 
Raga ini belum pernah sekalipun menginjakkan kaki ke tempat-tempat di atas. Tetapi, selalu ada keinginan dan rasa yang begitu kuat untuk menjelajahi semua itu. berfikir tentang apa yang sudah terjadi dan bagaimana kedepannya.
 
Sejarah bukan untuk dilupakan, tetapi mengajarkan apa yang bisa kita ambil di masa depan.

Amanah dan Komitmen

Secangkir kopi di tengah malam mungkin sudah jadi bagian dari sebuah rutinitas yang tak berkesudahan. Rutinitas yang oleh sebagian orang dianggap sebagai hal yang biasa, namun oleh sebagian yang lain dianggap hal yang melelahkan. Membagi waktu untuk bermacam-macam peran itu bukanlah hal yang mudah. Ibaratnya 24 jam itu adalah waktu yang kurang. Lebih spesifik lagi bagi manusia di sekitaran umur 19-23 tahunan yang sedang dituntut dan menuntut diri untuk menjadi seorang yang katanya “Mahasiswa”. Well. Disadari atau tidak peran mahasiswa bukanlah hanya sebagai kumpulan orang yang menuntut ilmu. Tapi juga tentang peran yang lain. Dalam saat yang sama mahasiswa dituntut sebagai seorang “agent of change”. Ini yang selalu didengungkan di dalam setiap masa OSPEK berlangsung. Mahasiswa adalah mata hati rakyat. Dan akhirnya, ketika masa Open Recruitment dari sebuah Organisasi Mahasiswa, ramailah mahasiswa baru untuk mendaftar.
 
Satu pertanyaan yang selalu ada adalah tentang komitmen. Apa komitmen mu di organisasi ini? Begitulah kiranya. Well. Mungkin jawabannya hampir sama dan saya pun menjawab hal ini juga. Bahwa kami akan selalu berkomitmen untuk selalu berkontribusi dan memberikan yang terbaik untuk organisasi ini. Dan untuk orang-orang yang terpilih akhirnya tibalah masa untuk membuktikan komitmen mereka. Saya pribadi, akan memegang satu kalimat  penting yang selalu ketika akhir wawancara disebutkan: “ Bahwa amanah tak akan salah memilih”. Ya, amanah tak akan salah memilih. Hanya saja bagaimana sang pemilik amanah itu untuk menjalankannya. Menjalankan sesuatu yang bahkan Imam Al Ghazali pun mengatakan sebagai sesuatu yang sangat berat.
 
Kembali lagi tentang peran mahasiswa dan komitmen. Ada beberapa teman yang mempunyai organisasi lebih dari satu organisasi. Sementara di sisi yang lain, ada beberapa teman yang sama sekali ta mengikuti organisasi. Mana yang lebih baik? Tergantung substansinya. Untuk orang-orang yang senang dan ingin mengembangkan diri, mencari relasi, pengalaman, dan jati diri, tentulah organisasi jadi salah satu pilihan. Tapi kita coba lihat sisi lain. Ada beberapa teman mahasiswa yang memilih untuk menarik diri dari dunia keorganisasian. Well, mereka punya alasannya sendiri. Bekerja, menjaga orang tua, ingin fokus kuliah, dll. Semua itu selalu ada kelebihan dan kelemahan. Kembali lagi tentang bagaimana kita mencoba untuk selalu berkomitmen dalam melakukan sesuatu. Mungkin ada kalanya bagi teman-teman yang menarik diri dari organisasi untuk bisa merasakan bagaimana atomosfir dari sebuah organisasi mahasiswa. Pun bagi teman –teman yang sedang diamanahi sebagai salah satu pemeran dalam organisasi mahasiswa untuk selalu berkomitmen. Tak hanya berkomitmen pada organisasinya, tapi  juga pada kuliahnya. Aktivis itu juga bisa berprestasi.

Dan diatas itu semua, ada komitmen besar pada diri seseorang. Ada amanah besar yang selalu menunggu. Komitmen pada orang tua. Amanah sebagai seorang khalifah di muka bumi. Dan komitmen sebagai seorang hamba Allah yang taat.

-Miftah_N-

You can try to hide your feeling.
But your eyes can’t lie
 

You can try to have a fake smile. 
But your tears will still fall down.
 

You can pretend that you’re alright. 
But, your face will tell everything.

Adaptasi

Bulan adaptasi. Menjalani kehidupan baru. Setelah satu fasa dalam kehidupan ini selama dua tahun terpenuhi. Kini saatnya menuju fase baru yang sudah menanti.

Bulan adaptasi. Harus mulai membiasakan diri dengan ritme dan kebiasaan baru. Langkah kaki harus disadarkan. Harus diarahkan menuju tempat baru. Fix the habbits that you have for about two years is kind of a difficult job. But, slowly but sure. You must do it.

Bulan adaptasi. Bahkan waktupun harus adaptasi. Terbiasa dengan senja dan langit malam. Kini sesak kendaraan bermotor saat matahari terbang tinggi menjadi menu sehari-hari.
Well. Karena dalam hidup itu tak kan ada yang abadi. These two years are beautiful and unforgettable years. Well. Happines is not the only thing that fullfill those years. But, it is so nice when you can remember something with pleasant heart.

Thanks for the time. Thanks for the smile. Thanks for caring me so much.
No matter what happen. We still are a family.

Ketika dihadapkan pada suatu pilihan, terkadang kita dihinggapi keraguan
Apa ini benar? Bagaimana kalau keputusanku salah?
Karena hidup itu memang pilihan
Karena hidup itu selalu penuh dengan konsekuensi
Karena hidup itu membuatmu berani mengambil keputusan


Jumat, 08 Januari 2016

Senja

Senja itu mengajarkan sebuah penerimaan.
Dirinya indah, ditunggu banyak orang.
Tapi senja hanya muncul beberapa saat.
Dan, terimakasih untuk senja yang sempurna ini....