Aku diam. Kamu diam. Kata seolah terserap dalam pikiran kita. Tak ada yang ingin keluar. Detik demi detik meluncur dengan cepat. Hanya pertanyaan yang berputar dalam pikiranku.
" Apa kabar?" Kau mulai memecah keheningan itu.
" Baik, bagaimana denganmu?"
" Seperti biasa. Hidup terkadang tak menarik. Tapi hidup juga menarik untuk diselidiki."
Ah, kau selalu seperti itu. Membuat kalimat dengan banyak makna di dalamnya. Dan aku harus selalu berpikir ulang apa maknanya.
" Bagaimana dengan hidupmu?"
" Seperti biasa. Hanya seorang anak manusia yang berusaha menjalani hidupnya." Kujawab dengan sekenaku.
" Apa yang kamu lakukan sekarang?" Kamu mulai bertanya lagi.
" Aku? Menyelesaikan kuliahku?"
" Haha.. Selain itu? Kupikir kamu akan mencoba sesuatu yang baru di hidupmu. Untuk membuat hidupmu menjadi tak biasa."
" Tidak. Aku tidak
seberani itu. Aku masih terkekang oleh ketakutanku sendiri. Tapi,
perlahan kupikir aku ingin mengatasinya sendiri. Bagaimana denganmu? Apa
kau sudah mendapatkan makna dari perjalananmu?"
" Belum sepenuhnya. Ada
sesuatu yang hilang dari perjalananku. Jadi, kupikir aku harus
mencarinya terlebih dahulu. Sebelum aku memutuskan untuk melanjutkan
perjalananku."
" Sesuatu yang hilang? Apa itu?"
" Kamu tak perlu tahu. Aku hanya perlu memastikannya sekarang. Aku boleh bertanya satu hal?"
"Apa? "
" Apa yang kamu pikirkan tentang hal yang kuutarakan masih sama dengan tiga tahun lalu?"
Tepat. Pertanyaan itu
sudah kuantisipasi akan keluar. Tapi, aku tak pernah tahu bagaimana
menjawabnya. Betapa pencundangnya diriku.
" Hmm. Pohon yang selalu
berbuah sepanjang tahun tak akan pernah menghasilkan buah yang sama.
Akan tetapi, esensi dari dirinya masih akan tetap sama. Hujan yang
datang mengguyur bumi tak akan pernah sama setiap tahunnya. Tapi,
orang-orang akan tetap memanggilnya hujan. Mungkin keadaannya berbeda.
Akan tetapi, aku masih mempunyai jawaban yang jelas tentang hal itu. Dan
aku harus minta maaf kepadamu. Jawabanku masih tetap sama."
Hening. Diam kembali menjerat suasana ini. Ini jauh lebih mencekam dari sebelumnya.
" Aku tahu. Aku tahu
kamu akan menjawab seperti itu. Haha. Aku sudah menduganya. Sama seperti
bumi yang tak pernah menyalahkan langit karena mengutus hujan untuk
menemuinya. Maka, aku menghargai apa yang sudah kamu putuskan. Aku tahu,
tiga tahun bukanlah waktu yang singkat tapi juga bukan waktu yang cukup
untuk mengubah prinsip hidup seseorang. Maka dengan segala hormat
sebagai seorang teman aku menghargai keputusanmu."
" Terimakasih. Dan
semoga seperti burung yang selalu kembali ke sarangnya, aku harap kamu
tak akan tersesat di perjalananmu. Jangan mengkhawatirkan orang lain.
Karena orang yang berada dalam perjalanan sesungguhnya sedang berusaha
menembus labirin yang tak sederhana."
" Baik, terimakasih. Dan
aku pamit. Sampai jumpa di puncak bukit selanjutnya. Dan semoga kamu
mengijinkan angin ini untuk menyapamu kembali."
" Tentu. Terimakasih"
Dan, pergi sudah. Angin
yang untuk kedua kalinya datang telah pergi. Membawa cerita tersendiri
tentang pertemuan kedua ini. Dan di atas kursi panjang, di bawah pohon
rambutan ini. Aku kembali meminta angin untuk pergi kedua kalinya.
Membawa sebuah rasa bernama penyesalan.
-Hikari-
0 komentar:
Posting Komentar