Sabtu, 30 Juni 2018

Kursi tua


Sore yang mendung. Angin musim penghujan mulai menyapa kembali setelah pergi selama beberapa bulan. Kuputuskan untuk duduk kembali pada jejeran kursi itu. Kursi tua yang entah sejak kapan telah ada di sana. Menjadi saksi perbincangan banyak anak manusia. Meskipun ia juga berbicara dengan pohon tinggi menjulang yang ada di depannya.

"Sudah lama aku tak melihatmu duduk di sini?". Aku terkejut. Oh, dia datang.
"Iya, ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan dulu." Jawabku sekenanya.

Diam kemudian mulai menyeruak. Aku tak tahu apa yang harus kami bicarakan. Pertemuan dengan sahabat lama ternyata lebih membingungkan daripada soal intergral tak tentu.

"Kapan kamu berangkat?" Dia yang mulai memecah keheningan.
" Tiga hari lagi. InsyaAllaah, ketika semua urusan in selesai." 
" Apa yang kamu pikirkan sekarang?" Tanyanya kembali.
" Maksudmu?" Aku heran.
"Aku tahu, ada sesuatu yang masih mengganjal pikiranmu. Aku tahu, ada sesuatu yang masih menahanmu untuk meninggalkan tempat ini. Benar kan?"

Aku mulai mengerti. Dan aku mulai kesal. Kenapa dia selalu dengan tepat menebak semua pikiranku.
"Kamu benar. Aku masih mempunyai hal yang mengganjal. Kamu tahu bukan, meninggalkan suatu tempat yang telah lama menyimpan semua hal yang telah kamu alami itu tak mudah."
" Maksudmu tempat atau orang-orang yang di dalamnya?"
" Menurutmu?" Aku bertanya kembali.
" Dengar. Kamu tidak bisa melupakan orang-orang yang pernah ada dalam hidupmu. Dan kamu tak akan pernah bisa. Jadi, jangan membuang energimu untuk itu. Tapi, kamu juga harus tahu. Tak selamanya orang-orang yang bersamamu sekarang akan selalu ada untukmu. Jalan takdir bagi setiap orang itu berbeda. Jadi, jangan pernah merasa sedih ketika ada seseorang yang pergi dari hidupmu. Pun, ketika kamu harus meninggalkan mereka."

Kata-katamu selalu benar. Tepat. Menohok.

" Orang-orang akan selalu datang dan pergi dari hidupmu. Itu pasti. Tak akan pernah berhenti sampai kau kehabisan waktumu di dunia ini. Tapi, mereka datang dan pergi bukan tanpa alasan. Kamu diminta untuk belajar dari mereka. Belajar menerima pertemuan. Belajar menerima perpisahan. Belajar menerima kebahagiaan. Pun belajar menerima kesedihan."lanjutnya.

" Jadi, kuminta, jangan biarkan kenangan apapun itu mulai menyakiti impian dan juga hatimu. Tak ada yang bisa menjaga mereka selain dirimu sendiri dan juga Allaah."


Kemudian diam kembali menyeruak. Ingin sekali kukatakan, salah satu orang yang tak bisa kutinggalkan ada di sini. Tapi, suara itu tertahan. Baiklah. Memang sudah saatnya aku pergi. Dan memang, semuanya tak akan baik baik saja ketika aku tak pergi dari sini. Selamat tinggal kursi tua yang selalu jadi saksi bisu. Terimakasih atas waktumu selama ini. 


-Hikari-

Rabu, 06 Juni 2018

Rindu tak bertuan



Riuh rerumputan pada padang sabana nan luas. Mengisyaratkan ada banyak dialog alam tercipta di sana. Tak berhenti. Saling menyapa.  Angin pun turut serta.  Membuat riuh semakin menjadi.

Di sana seorang anak manusia berdiri tegak. Matanya tak lepas memandang bagaimana alam berinteraksi. Telinganya selalu mendengar bagaimana riuh alam bersenda gurau.

Namun, hatinya tak lagi sepenuhnya di sana. Ia terbang menuju tempat nan jauh. Suatu tempat di mana semuanya bermulai baginya. Ah, jadi ini yang namanya rindu tak bertuan.

Kata orang-orang," Missing someone makes you hard to fall asleep at night."
Perkara ini tak sesederhana kalimat itu. Ada rindu yang harus selalu dipendam. Hingga, tanpa sadar imajinasi mulai mengambil alih dunia mimpi. Ada rindu yang harus diungkapkan dalam setiap doa.
Agar ia seperti anak panah yang melesat tepat pada tujuan.

Di padang sabana itu, ia mengabadikan kenangannya sendiri. Kesendirian, kekecewaan, kerinduan, semuanya ia kumpulkan sendiri. Biarlah ini menjadi ceritanya dengan alam yang mau berbaik hati mendengarkan. Memberikan tempat untuk sekedar memahami apa artinya rindu tak bertuan.

-Hikari-
📷AEF