Jumat, 09 November 2018

Tentang luka dan waktu

Seperti musim yang terus berganti,
daun yang hijau mulai menguning
Atau deru angin yang mulai berputar arah

Angin musim hujan mulai menyapa
Menawarkan sebuah rasa kelegaan dan rindu yang semakin menjadi
Tapi, nyatanya tak cukup kuat untuk menembus hati yang tertutup luka

Kata orang luka akan sembuh seiring waktu berjalan
Tapi, nyatanya bagi dirinya tak semudah itu
Ada luka yang tertutupi
Tapi tak sembuh

Seperti kemarau yang berganti hujan
Tak inginkah engkau mengganti luka dengan bahagia?
Tak bisakah kau mengijinkan waktu untuk menyembuhkannya?

Ah, ia tak bisa dipaksa

-Hikari-
📷MS

on 11/09/2018 05:27:00 PM by miftahazzahra | 1 comment  Edit

Selasa, 09 Oktober 2018

Tentang Langit dan Penerimaan



Terjatuh dalam suatu fatamorgana yang tak berujung
Menyedihkan. Dalam sebuah mimpi yang tak kenal rasa iba

Bukan tentang hujan atau air
Bukan juga tentang angin

Tapi tentang langit dan penerimaan
Ia yang dicemooh ketika tak lagi cantik
Atau ketika hujan mendung yang suram

Terjatuh dalam suatu episode cerita penuh tragedi
Dalam sebuah drama yang belum pasti bagaimana akhirnya

Bukan tentang matahari yang perkasa
Atau tentang bumi yang diam tapi mengagetkan


Tapi tentang langit dan penerimaan.
Menerima bahwa ini adalah sebuah fatamorgana
Hingga ia perlu segera keluar dari fatamorgana ini

Tentang langit dan penerimaan
Menerima bahwa ini hanyalah sebuah episode singkat


Maka, seperti langit yang mengijinkan matahari untuk datang kepadanya
Atau seperti langit yang membiarkan mendung mengusiknya

Terima episode ini dan ubah ia menjadi episode penuh keharuan dan ketabahan.

-Hikari-

Rabu, 26 September 2018

Untuk Kamu




Teruntuk kamu penikmat langit fajar.
Kamu hebat. Itu yang terlintas di pikiranku.
Menikmati langit fajar di kala orang-orang masih terlelap.
Memulai hari ketika orang-orang masih berselimut mimpi.
Kamu mengagumkan.

Teruntuk kamu penikmat langit ketika ia putih bersih.
Aku kagum. Kamu menangkap hal kecil menjadi sesuatu yang mempesona.
Aku heran. Kamu mengubah langit yang biasa menjadi sesuatu yang sangat menawan.
Kamu mengagumkan.

Teruntuk kamu penikmat langit senja.
Kamu orang yang sangat sabar. Menunggu sesuatu yang hanya datang sebentar.
Tapi, kamu punya caramu sendiri untuk menikmatinya.
Kamu benar. Senja memang selalu mempesona. Tapi, hati-hatilah. Ada kewajiban yang harus kamu tunaikan setelah senja datang.

Teruntuk kamu penikmat langit malam.
Aku hanya mengira, mungkin kesendirian menjadi kebahagiaanmu sendiri.
Mungkin keheningan lebih baik untukmu daripada sebuah hiruk pikuk yang menganggu.
Tenang saja. Kamu tak sendiri.


Dan teruntuk kamu yang selalu bersujud ketika orang-orang terlelap.
Untuk kamu yang selalu menangis memohon ampun pada Tuhanmu
Untuk kamu yang tak pernah menyalahkan takdir
Untuk kamu yang tak lelah berdoa dan selalu yakin akan ada jawaban atas semua pertanyaan.
Semoga kamu menemukan sebuah kebahagiaan yang hakiki.
Tidak. Kamu sudah menemukannya kupikir.
Tidak terlena atas dunia fana ini
Tapi tidak mengabaikan dunia fana ini.
Selamat.

Selamat untuk kamu.

-Hikari-

Jumat, 14 September 2018

Rindu



Kata orang, rindu itu toksik. Racun yang setiap saat bisa menggerogoti siapapun. Menyiksa dengan sangat. Tak kenal waktu maupun tempat.

Kata orang, rindu itu seperti zat adiktif. Membuat ketergantungan dan tak bisa lepas darinya.

Kataku, rindu itu seperti senja. Indah. Menawan. Tapi, selalu mengingatkan tentang hal dan orang-orang yang tak ada bersamaku saat ini.

Katamu, rindu itu seperti arak arakan awan yang tak berkesudahan. Ada kalanya tenang, namun ada kalanya seperti badai.

Ah, rindu. Kata orang. Kataku. Katamu. Semuanya satu. Kamu melenakan.

Rindu. Maka, bersama langit senja ini. Kusampaikan rindu in pada warna biru dan orange senja. Kusampaikan rindu ini dalam sujud setiap malam. Kusampaikan rindu ini pada Sang Pencipta. Semoga rindu ini tersampaikan.


-Hikari-
📷HNP

Jumat, 24 Agustus 2018

Langit Senja




Jalan di sepanjang koridor itu mulai sepi. Tak banyak lagi orang yang berlalu lalang. Hanya keheningan yang mulai datang mencekam. Ditambah langit senja yang mulai berganti malam. Tak ada suara adzan yang bergema. Meskipun waktu sholat telah datang.

Seorang anak manusia berjalan dengan lesu. Harinya sepertinya buruk. Ia butuh waktu untuk menyendiri. Ia butuh becerita pada Tuhannya tentang apa yang ia lalui selama ini.


Hingga, saat ia melalui koridor itu, ia tersadar. Bukankah sudah berkali-kali ia berjalan di koridor ini pada jam ini. Kenapa ia tak menyadari, ada pemandangan sangat bagus telah disajikan di hadapannya.

Dia berhenti sejenak. Ia keluarkan kamera selfphone nya. Berusaha untuk mengambil momen sebisanya. Setelah itu. Ia terdiam. Jangan-jangan ada banyak hal yang ia lewatkan selama ini. Keindahan yang telah tersaji di hadapannya ternyata ia tak sadari. Sama seperti langit senja ini.

Langkahnya mulai berjalan kembali. Menuju suatu tempat di pojokan koridor. Tempat yang diubah untuk bersujud sedalam-dalamnya. Hari itu, ia tumpahkan semua perasaanya. Ia sadar, betapa sombong dirinya selama ini. Betapa ia selalu iri dan jarang bersyukur atas apa yang telah diberikan. Betapa ia selalu mengkhawatirkan hal yang telah pasti ditetapkan untuknya tapi tak mengkhawatirkan hal yang belum pasti diperolehnya. Ah, ia sadar. Ia manusia penuh dosa.

Merindukan langit senja, tapi tak pernah mau menunggunya. Merindukan langit senja tapi tak pernah menyadari perjuangan dan keindahannya.

Langit senja. Sekali lagi, dia harus berterima kasih padanya atas tegurannya ini.


-Hikari-

Selasa, 21 Agustus 2018

Mungkinkah?



Dan sekiranya laut ini bisa berbicara. Mungkinkah ia mau menyapa pada seorang anak yang mulai tak yakin pada dirinya? Mungkinkah ia mau bertanya kabar pada seorang yang selalu merasa rendah diri?Ah, tak bijak rasanya seperti itu. Laut tak pernah seegois itu.

Dan sekiranya langit biru ini mampu bercanda gurau. Mungkinkah ia juga mau bercanda dengan penyendiri yang tak suka keramaian? Seorang yang tak mampu mengungkapkan apa yang ia pikirkan secara langsung. Ah, tak pantas rasanya bertanya demikian. Bukankah langit biru juga lebih menyukai ketenangan daripada hiruk pikuk dunia ini.


-Hikari-

Kamis, 02 Agustus 2018

Sudut Pandang



Senja mulai datang menyapa bersama dengan angin semilir musim kemarau. Seiring dengan suhu udara yang mulai kian meninggi. Seolah, sedang marah karena kemarau selalu dikeluhkan ketika ia datang. Seorang gadis kecil. Berdiri di sebuah jembatan tua yang menjadi saksi, ada banyak anak muda yang menuntut ilmu demi masa depannya. Raut matanya menatap sendu langit. Yang entah kemapa hari itu berwarna putih bergerombol. Tak sama seperti biasanya.

"Apa yang kamu lakukan di sini?". Seorang gadis kecil lain datang.
"Aku? Menatap langit yang sepertinya berbeda dengan biasanya."
"Tapi bukan cuma itu kan? Ada hal yang kamu pikirkan?"

Diam mulai menyapa sejenak.
"Apa kamu pernah merasa bahwa dirimu ini seperti tak ada artinya untuk orang lain?"
"Pernah. Tentu saja pernah. Merasa tak dibutuhkan, merasa selalu merepotkan orang lain, apa ya bahasanya. Seperti invisible mungkin."
" Lalu, apa yang kamu lakukan?"
"Merubah sudut pandang."
" Caranya?"
" Entah apapun yang kamu rasakan, satu fakta yang jelas dan tak terbantahkan adalah kamu manusia yang sekarang ini sedang hidup. Setiap makhluk hidup bukankah selalu ada alasannya untuk hidup? Mungkin sekarang ini kamu merasa tak berguna, merepotkan orang lain. Tapi, yakinlah, suatu saat kamu akan memberikan apa yang orang lain butuhkan. Pada saatnya, kamu yang akan menolong orang lain."
" Itu sulit bagiku untuk saat ini. Pernahkah kamu merasa ujian datang tak berhenti? Segala apa yang kamu usahakan seperti tak ada hasilnya?"
" Pernah. Tentu saja pernah. Tak mungkin aku tak pernah merasakan itu. Tapi, bagaimana kalau itu adalah hal yang baik untuk kita?"
"Maksudmu?"
" Ujian yang datang padamu menandakan kamu layak untuk diuji. Kamu punya kemampuan untuk melaluinya. Hasil yang tak seperti apa yang kamu harapkan itu berarti kamu diminta untuk lebih bersabar. Kamu diminta untuk lebih bergantung pada Sang Maha Berkehendak. Mungkin kamu bisa introspeksi diri, berapa kali dalam sehari kamu meminta agar diberikan hasil yang baik "
" Tapi, apa yang kamu lakukan jika bahkan dirimu saja tak yakin bisa melaluinya?"
" Kamu percaya takdir kan? Kamu percaya Kuasa Allaah kan? Dan apakah kamu setega itu memandang dirimu sendiri tak mampu? Lantas, ketika kamu sendiri tak yakin pada dirimu sendiri, bagaimana orang lain akan yakin terhadapmu?"
" Kamu benar. Ini sulit."
" Kamu lihat langit itu? Kita terbiasa menatap langit dari bawah. Tapi, coba rubah sudut pandang. Kita duduk di hamparan langit tebal berwarna putih. Sementara gedung-gedung yang kita lihat sekarang adalah benda yang ada di atas langit. Hidupmu mungkin memang susah, hingga kamu sendiri tak yakin. Tapi, coba rubah sudut pandangmu. Ada Allaah yang senantiasa Melihatmu. Dia tak akan membiarkanmu sendiri. Perhatikan sekitarmu ada orang-orang yang senantiasa mendukungmu. Mungkin saja kamu tak menyadarinya."

Diam. Hening. Jawaban ini seolah menusuk pada hati yang telah lama lalai.

"Boleh aku berpesan? Jika hatimu gundah, gelar sajadaahmu. Bersujudlah. Seolah-olah ini adalah sujud terakhirmu. Mengadulah pada Sang Maha Mendengar. Memintalah dengan menyebut nama-nama terbaiknya. Maka semoga kamu mendapatkan hal yang terbaik."

Langit putih itu perlahan mulai berubah. Siluet senja mulai menggatikan tempatnya. Ah, bahkan hal seperti ini lalai untuk disyukuri. Bagaimana mungkin, mengeluh untuk hal yang memang baik untuk kita?


-Hikari-
Inspired by : AEF
📷HNP

Minggu, 08 Juli 2018

Sayonara


Seperti bunga matahari yang hanya bisa tumbuh dan mekar pada musimnya. Maka, episode kehidupan ini harus berjalan menuju episode selanjutnya.

Seperti bunga matahari yang tumbuh menghadap matahari, maka cerita ini semoga terus maju menuju cerita yang lebih baik.

"Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku? Mengucapkan selamat tinggal pada masa lalu. "

"Sudah bisakah kau memaafkan dirimu sendiri, dia, dan keadaan?"

"Sedang kucoba sekarang. Aku tidak ingin pergi dengan membawa rasa marah dan penyesalan. Aku hanya ingin melanjutkan kehidupanku kembali."

"Apa kau masih merasa sakit untuk kembali duduk di kursi tua itu?"

"Sedikit, tapi aku mungkin butuh waktu lama untuk kembali ke sana. Ada banyak tempat yang harus kukunjungi. Dan aku harus berdamai dengan waktu"

"Jadi, kau sudah mengucapkan selamat tinggal pada kursi tua?"

"Ya. Selamat tinggal pada kursi tua. Selamat tinggal pada kenangan yang menyakitkan. Selamat tinggal pada kemarahan yang membuatmu buta pada kenyataan. Selamat tinggal  pada janji yang semu. Dan selamat datang pada masa depan."

Dan selebihnya, biarkan ia menikmati detik demi detik bersama bunga matahari yang sedang bermekaran di sudut utara kota yang penuh kenangan


-Hikari-
📷ALD

Rabu, 04 Juli 2018

Tentang Memaafkan



Ada kalanya, ketika hidup tak lagi menyenangkan.
Ada kalanya, ketika dunia begitu lucu mempermainkan manusia.
Ada kalanya, ketika matahari terasa begitu menyengat
Dan, ada kalanya, ketika hati tak mau lagi sekedar memaafkan.

Tapi, hidup memanglah tak selalu menyenangkan
Bagaimana mungkin, mengharapkan laut tanpa ombak
Hidup memang terkadang lucu
Toh, ini hanya suatu tempat pemberhentian sementara
Tak mungkin monoton bukan

Matahari memang ada untuk menghangatkan
Pun, ketika menyengat, ia hanya ingin mengingatkan
Betapa kecil dan tak berdaya manusia itu

Dan, hati.
Ah, dia memang misterius bukan
Memaafkan butuh hati yang lapang
Bukan hati yang dipenuhi kekecewaan
Bukan hati yang dipenuhi penyesalan

Memaafkan.
Memaafkan diri sendiri
Memaafkan orang lain
Tanpa penyesalan
Tanpa kekecewaan
Maka, tak kan lagi ada ketakutan hanya untuk sekedar berbicara pada dunia

-Hikari-
📷AEF

Senin, 02 Juli 2018

Jendela



Malam telah berakhir. Siluet sang surya mulai menampakkan diri. Seolah berkata," Hai anak manusia, kapan kalian memulai hari kalian?"

Siluet itu juga yang menembus jendela tua di sudut kamar. Memperlihatkan betapa langit mengayomi segala apa yang ada di dalamnya.

Seorang anak manusia mulai terbangun dari mimpinya. Beberapa hari ini tidurnya tak lagi nyenyak. Banyak tangisan yang menghantui, pun dengan semua pikiran yang entah ia buat sendiri.

"Hari apa? Ah, hari Ahad. "

Ia memandang keluar jendela. Di luar sana waktu seakan berputar lebih cepat. Tak banyak orang yang bermalas-malasan seperti yang ia lakukan.

"Hei jendela. Maafkan aku, apa kamu mulai jenuh melihatku seperti ini? Maafkan aku yang belum bisa pulih sepenuhnya. Nanti, akan kubuka kau dan kau bisa bercengkrama lagi dengan langit sebebas yang biasa kau lakukan. Untuk saat ini, bantu aku bersembunyi dari langit. Aku sedang tak ingin bertemu dengannya."

Dan hari-hari itu kembali dilalui dengan jendela yang selalu tertutup. Ada sebuah tembok besar yang bernama kekecewaan yang harus dihancurkan agar jendela itu kembali terbuka.


Ah, memang benar. Berharap pada manusia hanya akan memberimu kekecewaan. Itu yang ia ketahui, tapi ia belum bisa untuk tidak berharap pada manusia. Dan inilah hukuman baginya. Dan semoga waktu mau berbaik hati menyembuhkan. Hingga jendela itu kembali terbuka dengan lebar.


-Hikari-
📷AEF

Sabtu, 30 Juni 2018

Kursi tua


Sore yang mendung. Angin musim penghujan mulai menyapa kembali setelah pergi selama beberapa bulan. Kuputuskan untuk duduk kembali pada jejeran kursi itu. Kursi tua yang entah sejak kapan telah ada di sana. Menjadi saksi perbincangan banyak anak manusia. Meskipun ia juga berbicara dengan pohon tinggi menjulang yang ada di depannya.

"Sudah lama aku tak melihatmu duduk di sini?". Aku terkejut. Oh, dia datang.
"Iya, ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan dulu." Jawabku sekenanya.

Diam kemudian mulai menyeruak. Aku tak tahu apa yang harus kami bicarakan. Pertemuan dengan sahabat lama ternyata lebih membingungkan daripada soal intergral tak tentu.

"Kapan kamu berangkat?" Dia yang mulai memecah keheningan.
" Tiga hari lagi. InsyaAllaah, ketika semua urusan in selesai." 
" Apa yang kamu pikirkan sekarang?" Tanyanya kembali.
" Maksudmu?" Aku heran.
"Aku tahu, ada sesuatu yang masih mengganjal pikiranmu. Aku tahu, ada sesuatu yang masih menahanmu untuk meninggalkan tempat ini. Benar kan?"

Aku mulai mengerti. Dan aku mulai kesal. Kenapa dia selalu dengan tepat menebak semua pikiranku.
"Kamu benar. Aku masih mempunyai hal yang mengganjal. Kamu tahu bukan, meninggalkan suatu tempat yang telah lama menyimpan semua hal yang telah kamu alami itu tak mudah."
" Maksudmu tempat atau orang-orang yang di dalamnya?"
" Menurutmu?" Aku bertanya kembali.
" Dengar. Kamu tidak bisa melupakan orang-orang yang pernah ada dalam hidupmu. Dan kamu tak akan pernah bisa. Jadi, jangan membuang energimu untuk itu. Tapi, kamu juga harus tahu. Tak selamanya orang-orang yang bersamamu sekarang akan selalu ada untukmu. Jalan takdir bagi setiap orang itu berbeda. Jadi, jangan pernah merasa sedih ketika ada seseorang yang pergi dari hidupmu. Pun, ketika kamu harus meninggalkan mereka."

Kata-katamu selalu benar. Tepat. Menohok.

" Orang-orang akan selalu datang dan pergi dari hidupmu. Itu pasti. Tak akan pernah berhenti sampai kau kehabisan waktumu di dunia ini. Tapi, mereka datang dan pergi bukan tanpa alasan. Kamu diminta untuk belajar dari mereka. Belajar menerima pertemuan. Belajar menerima perpisahan. Belajar menerima kebahagiaan. Pun belajar menerima kesedihan."lanjutnya.

" Jadi, kuminta, jangan biarkan kenangan apapun itu mulai menyakiti impian dan juga hatimu. Tak ada yang bisa menjaga mereka selain dirimu sendiri dan juga Allaah."


Kemudian diam kembali menyeruak. Ingin sekali kukatakan, salah satu orang yang tak bisa kutinggalkan ada di sini. Tapi, suara itu tertahan. Baiklah. Memang sudah saatnya aku pergi. Dan memang, semuanya tak akan baik baik saja ketika aku tak pergi dari sini. Selamat tinggal kursi tua yang selalu jadi saksi bisu. Terimakasih atas waktumu selama ini. 


-Hikari-

Rabu, 06 Juni 2018

Rindu tak bertuan



Riuh rerumputan pada padang sabana nan luas. Mengisyaratkan ada banyak dialog alam tercipta di sana. Tak berhenti. Saling menyapa.  Angin pun turut serta.  Membuat riuh semakin menjadi.

Di sana seorang anak manusia berdiri tegak. Matanya tak lepas memandang bagaimana alam berinteraksi. Telinganya selalu mendengar bagaimana riuh alam bersenda gurau.

Namun, hatinya tak lagi sepenuhnya di sana. Ia terbang menuju tempat nan jauh. Suatu tempat di mana semuanya bermulai baginya. Ah, jadi ini yang namanya rindu tak bertuan.

Kata orang-orang," Missing someone makes you hard to fall asleep at night."
Perkara ini tak sesederhana kalimat itu. Ada rindu yang harus selalu dipendam. Hingga, tanpa sadar imajinasi mulai mengambil alih dunia mimpi. Ada rindu yang harus diungkapkan dalam setiap doa.
Agar ia seperti anak panah yang melesat tepat pada tujuan.

Di padang sabana itu, ia mengabadikan kenangannya sendiri. Kesendirian, kekecewaan, kerinduan, semuanya ia kumpulkan sendiri. Biarlah ini menjadi ceritanya dengan alam yang mau berbaik hati mendengarkan. Memberikan tempat untuk sekedar memahami apa artinya rindu tak bertuan.

-Hikari-
📷AEF

Sabtu, 19 Mei 2018

Ramadhan di Tanah Orang

17 Mei 2018

Hari pertama bulan ramadhan di tahun ini. Banyak hal berbeda di bulan ramadhan kali ini. Ini adalah kali pertama bagiku melewatkan ramadhan di tanah orang. Jauh dari keluarga dan dengan kondisi Islam sebagai agama minoritas.

Mulai dari sholat tarawih yang tak bisa dilakukan di masjid. Karena jarak yang cukup jauh. Aku sendiri sholat tarawih di aula kampus bersama mahasiswa muslim lainnya. Tapi, Alhamdulillaah. Ada banyak mahasiswa muslim di sini.

Sahur pertama di bulan ramadhan tanpa masakan ibu. Kalau dulu sahur dan berbuka selalu bersama masakan ibu yang bagiku masakan paling enak. Tapi, sekarang dengan menu seadanya. Yang jelas bisa memenuhi energi untuk puasa.

Tapi, di saat seperti ini pula, kita akan menyadari. Ah, betapa banyak nikmat yang selama ini terlupa. Betapa banyak kesempatan kita untuk beribadah yang terbuang di bulan ramadhan tahun sebelumnya. Ah, Allaah. Tolong hamba untuk bisa melalui ramadhan kali ini dengan sebaik-baiknya.

Sabtu, 05 Mei 2018

Sajak Sajak tak beraturan

Sajak sajak tak beraturan itu mulai merenda dirinya sendiri
Di tengah hiruk pikuk kota
Di tengah keriuhan dunia
Di tengah proses hilangnya keheningan


Sajak sajak tak beraturan itu mulai bermunculan
Di tengah kegundahan hati tak berkesudahan
Di tengah kekhawatiran yang semakin melonjak
Di tengah hilangnya kendali atas nama hati

Sajak sajak tak beraturan itu mulai menghantui
Pada hati yang tak lagi percaya
Pada hati yang terluka semakin dalam
Pada hati yang tak tahu bahwa dirinya sakit

Tapi sajak sajak tak beraturan itu harus ada
Untuk dirangkai kembali menjadi sebuah prosa kehidupan

-hikari-

Jumat, 02 Februari 2018

Angin kedua




Aku diam. Kamu diam. Kata seolah terserap dalam pikiran kita. Tak ada yang ingin keluar. Detik demi detik meluncur dengan cepat. Hanya pertanyaan yang berputar dalam pikiranku.

" Apa kabar?" Kau mulai memecah keheningan itu.

" Baik, bagaimana denganmu?"

" Seperti biasa. Hidup terkadang tak menarik. Tapi hidup juga menarik untuk diselidiki."

Ah, kau selalu seperti itu. Membuat kalimat dengan banyak makna di dalamnya. Dan aku harus selalu berpikir ulang apa maknanya.

" Bagaimana dengan hidupmu?"

" Seperti biasa. Hanya seorang anak manusia yang berusaha menjalani hidupnya." Kujawab dengan sekenaku.

" Apa yang kamu lakukan sekarang?" Kamu mulai bertanya lagi.

" Aku? Menyelesaikan kuliahku?"

" Haha.. Selain itu? Kupikir kamu akan mencoba sesuatu yang baru di hidupmu. Untuk membuat hidupmu menjadi tak biasa."

" Tidak. Aku tidak seberani itu. Aku masih terkekang oleh ketakutanku sendiri. Tapi, perlahan kupikir aku ingin mengatasinya sendiri. Bagaimana denganmu? Apa kau sudah mendapatkan makna dari perjalananmu?"

" Belum sepenuhnya. Ada sesuatu yang hilang dari perjalananku. Jadi, kupikir aku harus mencarinya terlebih dahulu. Sebelum aku memutuskan untuk melanjutkan perjalananku."

" Sesuatu yang hilang? Apa itu?"

" Kamu tak perlu tahu. Aku hanya perlu memastikannya sekarang. Aku boleh bertanya satu hal?"

"Apa? "

" Apa yang kamu pikirkan tentang hal yang kuutarakan masih sama dengan tiga tahun lalu?"
Tepat. Pertanyaan itu sudah kuantisipasi akan keluar. Tapi, aku tak pernah tahu bagaimana menjawabnya. Betapa pencundangnya diriku.

" Hmm. Pohon yang selalu berbuah sepanjang tahun tak akan pernah menghasilkan buah yang sama. Akan tetapi, esensi dari dirinya masih akan tetap sama. Hujan yang datang mengguyur bumi tak akan pernah sama setiap tahunnya. Tapi, orang-orang akan tetap memanggilnya hujan. Mungkin keadaannya berbeda. Akan tetapi, aku masih mempunyai jawaban yang jelas tentang hal itu. Dan aku harus minta maaf kepadamu. Jawabanku masih tetap sama."

Hening. Diam kembali menjerat suasana ini. Ini jauh lebih mencekam dari sebelumnya.

" Aku tahu. Aku tahu kamu akan menjawab seperti itu. Haha. Aku sudah menduganya. Sama seperti bumi yang tak pernah menyalahkan langit karena mengutus hujan untuk menemuinya. Maka, aku menghargai apa yang sudah kamu putuskan. Aku tahu, tiga tahun bukanlah waktu yang singkat tapi juga bukan waktu yang cukup untuk mengubah prinsip hidup seseorang. Maka dengan segala hormat sebagai seorang teman aku menghargai keputusanmu."

" Terimakasih. Dan semoga seperti burung yang selalu kembali ke sarangnya, aku harap kamu tak akan tersesat di perjalananmu. Jangan mengkhawatirkan orang lain. Karena orang yang berada dalam perjalanan sesungguhnya sedang berusaha menembus labirin yang tak sederhana."

" Baik, terimakasih. Dan aku pamit. Sampai jumpa di puncak bukit selanjutnya. Dan semoga kamu mengijinkan angin ini untuk menyapamu kembali."

" Tentu. Terimakasih"

Dan, pergi sudah. Angin yang untuk kedua kalinya datang telah pergi. Membawa cerita tersendiri tentang pertemuan kedua ini. Dan di atas kursi panjang, di bawah pohon rambutan ini. Aku kembali meminta angin untuk pergi kedua kalinya. Membawa sebuah rasa bernama penyesalan.

-Hikari-