Jumat, 29 September 2017

Ilusi

Rembulan itu kembali berwajah sendu. Keterpisahan yang selama ini ia takutkan, benar benar ia alami. Rembulan itu kini tak lagi sama. Guratan luka di wajahnya, seolah pertanda. Ada yang terluka di hatinya.
Kemudian, hujan datang padanya. Bertanya, ada apa gerangan. Rembulan bercerita tentang keterpisahannya.
Hujan kemudian tertawa.
"Bukankah pernah kukatakan? Keterpisahan itu hanyalah ilusi ruang dan waktu. Kita tidak benar benar berpisah. Bukankah kita masih hidup di bumi yang sama. Kamu tidak hidup di Mars kan? Ingatlah, kamu tak sendiri. Merasa lelah. Kembali, mengadulah pada Rabb-mu. Jangan sampai keterpisahan ini membuatmu terpisah juga dengan Rabb-mu. "
Ah, benar. Kita tidak benar benar terpisah.


Di Sini Hujan


Di sini hujan.
Tak banyak yang bisa kulakukan. Duduk sambil berhadapan dengan laptop. Kalau ia bisa berbicara, mungkin ia sudah bosan setiap hari bertemu denganku.

Di sini hujan. Aku memang duduk di ruangan. Tapi pikiran ku tak bisa kuajak duduk di sini. Dia mengembara kembali pada saat itu.

Di sini hujan.

- MN-

Di sini juga hujan.
Kamu punya solusi tidak?
Bagaimana aku bisa menikmati hujan turun kalo aku harus hitung brp menit dia gerimis, brp menit dia lebat, dan kapan dia berhenti?

Di sini juga hujan.
Kamu punya solusi tidak?
Hujan turun sebagai anugrah. Meski beberapa manusia memaki makinya marah. Kenapa pula manusia menghitung hitung banyaknya anugrah?

-AEF-

AEF
 
 

Sebaris doa

Sebaris doa itu terucap. Terucap dari sebuah perasaan akibat dari kepasrahan. Tapi, nyatanya sebaris doa itu yang kemudian muncul menjadi nyata.

Aku diam. Semesta sedang berbicara dengan caranya sendiri.
Aku diam. Semesta sedang mengajarkan tentang makna kehidupannya.

Aku diam. Semesta seolah sedang berkata, "inilah hidup. Sekarang, bagaimana kamu menjalaninya?"


Kata

Kata ini seperti terserap. Kalah oleh suara hujan yang tiba tiba turun. Tak apa, kau pernah bilang. Jika tak ada kata yang terucap dari kita, maka biarlah semesta yang mengucapkannya. Baiklah. Aku percaya itu


Akhir

Ini bukan sebuah akhir. Cerita apa yang kamu tulis akan kembali menjadi pertanyaan. Dengan warna apa kamu tulis dan berapa halaman akan jadi pertanyaan juga.
Ya. Kamu bilang, kita hanyalah pemain dalam kehidupan ini. Ya benar. Hanya saja pemain seperti apa?

Menuggu

Menunggu di dalam keheningan. Tak selamanya diam. Nyatanya, doa doa selalu tercurah.

Hening memang, tapi ini lebih baik daripada angin ribut yang merusak. Hingga kemudian, cerita itu berakhir di halaman yang seharusnya.

Tenanglah

Tenang dan diamlah. Biarkan semesta bercerita.
Tenang dan diamlah. Biarkan waktu menunaikan tugasnya.
Tenang dan diamlah. Biarkan hatimu berbicara. Karena selama ini ia terpenjara oleh egomu