Jumat, 24 Agustus 2018

Langit Senja




Jalan di sepanjang koridor itu mulai sepi. Tak banyak lagi orang yang berlalu lalang. Hanya keheningan yang mulai datang mencekam. Ditambah langit senja yang mulai berganti malam. Tak ada suara adzan yang bergema. Meskipun waktu sholat telah datang.

Seorang anak manusia berjalan dengan lesu. Harinya sepertinya buruk. Ia butuh waktu untuk menyendiri. Ia butuh becerita pada Tuhannya tentang apa yang ia lalui selama ini.


Hingga, saat ia melalui koridor itu, ia tersadar. Bukankah sudah berkali-kali ia berjalan di koridor ini pada jam ini. Kenapa ia tak menyadari, ada pemandangan sangat bagus telah disajikan di hadapannya.

Dia berhenti sejenak. Ia keluarkan kamera selfphone nya. Berusaha untuk mengambil momen sebisanya. Setelah itu. Ia terdiam. Jangan-jangan ada banyak hal yang ia lewatkan selama ini. Keindahan yang telah tersaji di hadapannya ternyata ia tak sadari. Sama seperti langit senja ini.

Langkahnya mulai berjalan kembali. Menuju suatu tempat di pojokan koridor. Tempat yang diubah untuk bersujud sedalam-dalamnya. Hari itu, ia tumpahkan semua perasaanya. Ia sadar, betapa sombong dirinya selama ini. Betapa ia selalu iri dan jarang bersyukur atas apa yang telah diberikan. Betapa ia selalu mengkhawatirkan hal yang telah pasti ditetapkan untuknya tapi tak mengkhawatirkan hal yang belum pasti diperolehnya. Ah, ia sadar. Ia manusia penuh dosa.

Merindukan langit senja, tapi tak pernah mau menunggunya. Merindukan langit senja tapi tak pernah menyadari perjuangan dan keindahannya.

Langit senja. Sekali lagi, dia harus berterima kasih padanya atas tegurannya ini.


-Hikari-

Selasa, 21 Agustus 2018

Mungkinkah?



Dan sekiranya laut ini bisa berbicara. Mungkinkah ia mau menyapa pada seorang anak yang mulai tak yakin pada dirinya? Mungkinkah ia mau bertanya kabar pada seorang yang selalu merasa rendah diri?Ah, tak bijak rasanya seperti itu. Laut tak pernah seegois itu.

Dan sekiranya langit biru ini mampu bercanda gurau. Mungkinkah ia juga mau bercanda dengan penyendiri yang tak suka keramaian? Seorang yang tak mampu mengungkapkan apa yang ia pikirkan secara langsung. Ah, tak pantas rasanya bertanya demikian. Bukankah langit biru juga lebih menyukai ketenangan daripada hiruk pikuk dunia ini.


-Hikari-

Kamis, 02 Agustus 2018

Sudut Pandang



Senja mulai datang menyapa bersama dengan angin semilir musim kemarau. Seiring dengan suhu udara yang mulai kian meninggi. Seolah, sedang marah karena kemarau selalu dikeluhkan ketika ia datang. Seorang gadis kecil. Berdiri di sebuah jembatan tua yang menjadi saksi, ada banyak anak muda yang menuntut ilmu demi masa depannya. Raut matanya menatap sendu langit. Yang entah kemapa hari itu berwarna putih bergerombol. Tak sama seperti biasanya.

"Apa yang kamu lakukan di sini?". Seorang gadis kecil lain datang.
"Aku? Menatap langit yang sepertinya berbeda dengan biasanya."
"Tapi bukan cuma itu kan? Ada hal yang kamu pikirkan?"

Diam mulai menyapa sejenak.
"Apa kamu pernah merasa bahwa dirimu ini seperti tak ada artinya untuk orang lain?"
"Pernah. Tentu saja pernah. Merasa tak dibutuhkan, merasa selalu merepotkan orang lain, apa ya bahasanya. Seperti invisible mungkin."
" Lalu, apa yang kamu lakukan?"
"Merubah sudut pandang."
" Caranya?"
" Entah apapun yang kamu rasakan, satu fakta yang jelas dan tak terbantahkan adalah kamu manusia yang sekarang ini sedang hidup. Setiap makhluk hidup bukankah selalu ada alasannya untuk hidup? Mungkin sekarang ini kamu merasa tak berguna, merepotkan orang lain. Tapi, yakinlah, suatu saat kamu akan memberikan apa yang orang lain butuhkan. Pada saatnya, kamu yang akan menolong orang lain."
" Itu sulit bagiku untuk saat ini. Pernahkah kamu merasa ujian datang tak berhenti? Segala apa yang kamu usahakan seperti tak ada hasilnya?"
" Pernah. Tentu saja pernah. Tak mungkin aku tak pernah merasakan itu. Tapi, bagaimana kalau itu adalah hal yang baik untuk kita?"
"Maksudmu?"
" Ujian yang datang padamu menandakan kamu layak untuk diuji. Kamu punya kemampuan untuk melaluinya. Hasil yang tak seperti apa yang kamu harapkan itu berarti kamu diminta untuk lebih bersabar. Kamu diminta untuk lebih bergantung pada Sang Maha Berkehendak. Mungkin kamu bisa introspeksi diri, berapa kali dalam sehari kamu meminta agar diberikan hasil yang baik "
" Tapi, apa yang kamu lakukan jika bahkan dirimu saja tak yakin bisa melaluinya?"
" Kamu percaya takdir kan? Kamu percaya Kuasa Allaah kan? Dan apakah kamu setega itu memandang dirimu sendiri tak mampu? Lantas, ketika kamu sendiri tak yakin pada dirimu sendiri, bagaimana orang lain akan yakin terhadapmu?"
" Kamu benar. Ini sulit."
" Kamu lihat langit itu? Kita terbiasa menatap langit dari bawah. Tapi, coba rubah sudut pandang. Kita duduk di hamparan langit tebal berwarna putih. Sementara gedung-gedung yang kita lihat sekarang adalah benda yang ada di atas langit. Hidupmu mungkin memang susah, hingga kamu sendiri tak yakin. Tapi, coba rubah sudut pandangmu. Ada Allaah yang senantiasa Melihatmu. Dia tak akan membiarkanmu sendiri. Perhatikan sekitarmu ada orang-orang yang senantiasa mendukungmu. Mungkin saja kamu tak menyadarinya."

Diam. Hening. Jawaban ini seolah menusuk pada hati yang telah lama lalai.

"Boleh aku berpesan? Jika hatimu gundah, gelar sajadaahmu. Bersujudlah. Seolah-olah ini adalah sujud terakhirmu. Mengadulah pada Sang Maha Mendengar. Memintalah dengan menyebut nama-nama terbaiknya. Maka semoga kamu mendapatkan hal yang terbaik."

Langit putih itu perlahan mulai berubah. Siluet senja mulai menggatikan tempatnya. Ah, bahkan hal seperti ini lalai untuk disyukuri. Bagaimana mungkin, mengeluh untuk hal yang memang baik untuk kita?


-Hikari-
Inspired by : AEF
📷HNP