Jumat, 02 Februari 2018

Angin kedua




Aku diam. Kamu diam. Kata seolah terserap dalam pikiran kita. Tak ada yang ingin keluar. Detik demi detik meluncur dengan cepat. Hanya pertanyaan yang berputar dalam pikiranku.

" Apa kabar?" Kau mulai memecah keheningan itu.

" Baik, bagaimana denganmu?"

" Seperti biasa. Hidup terkadang tak menarik. Tapi hidup juga menarik untuk diselidiki."

Ah, kau selalu seperti itu. Membuat kalimat dengan banyak makna di dalamnya. Dan aku harus selalu berpikir ulang apa maknanya.

" Bagaimana dengan hidupmu?"

" Seperti biasa. Hanya seorang anak manusia yang berusaha menjalani hidupnya." Kujawab dengan sekenaku.

" Apa yang kamu lakukan sekarang?" Kamu mulai bertanya lagi.

" Aku? Menyelesaikan kuliahku?"

" Haha.. Selain itu? Kupikir kamu akan mencoba sesuatu yang baru di hidupmu. Untuk membuat hidupmu menjadi tak biasa."

" Tidak. Aku tidak seberani itu. Aku masih terkekang oleh ketakutanku sendiri. Tapi, perlahan kupikir aku ingin mengatasinya sendiri. Bagaimana denganmu? Apa kau sudah mendapatkan makna dari perjalananmu?"

" Belum sepenuhnya. Ada sesuatu yang hilang dari perjalananku. Jadi, kupikir aku harus mencarinya terlebih dahulu. Sebelum aku memutuskan untuk melanjutkan perjalananku."

" Sesuatu yang hilang? Apa itu?"

" Kamu tak perlu tahu. Aku hanya perlu memastikannya sekarang. Aku boleh bertanya satu hal?"

"Apa? "

" Apa yang kamu pikirkan tentang hal yang kuutarakan masih sama dengan tiga tahun lalu?"
Tepat. Pertanyaan itu sudah kuantisipasi akan keluar. Tapi, aku tak pernah tahu bagaimana menjawabnya. Betapa pencundangnya diriku.

" Hmm. Pohon yang selalu berbuah sepanjang tahun tak akan pernah menghasilkan buah yang sama. Akan tetapi, esensi dari dirinya masih akan tetap sama. Hujan yang datang mengguyur bumi tak akan pernah sama setiap tahunnya. Tapi, orang-orang akan tetap memanggilnya hujan. Mungkin keadaannya berbeda. Akan tetapi, aku masih mempunyai jawaban yang jelas tentang hal itu. Dan aku harus minta maaf kepadamu. Jawabanku masih tetap sama."

Hening. Diam kembali menjerat suasana ini. Ini jauh lebih mencekam dari sebelumnya.

" Aku tahu. Aku tahu kamu akan menjawab seperti itu. Haha. Aku sudah menduganya. Sama seperti bumi yang tak pernah menyalahkan langit karena mengutus hujan untuk menemuinya. Maka, aku menghargai apa yang sudah kamu putuskan. Aku tahu, tiga tahun bukanlah waktu yang singkat tapi juga bukan waktu yang cukup untuk mengubah prinsip hidup seseorang. Maka dengan segala hormat sebagai seorang teman aku menghargai keputusanmu."

" Terimakasih. Dan semoga seperti burung yang selalu kembali ke sarangnya, aku harap kamu tak akan tersesat di perjalananmu. Jangan mengkhawatirkan orang lain. Karena orang yang berada dalam perjalanan sesungguhnya sedang berusaha menembus labirin yang tak sederhana."

" Baik, terimakasih. Dan aku pamit. Sampai jumpa di puncak bukit selanjutnya. Dan semoga kamu mengijinkan angin ini untuk menyapamu kembali."

" Tentu. Terimakasih"

Dan, pergi sudah. Angin yang untuk kedua kalinya datang telah pergi. Membawa cerita tersendiri tentang pertemuan kedua ini. Dan di atas kursi panjang, di bawah pohon rambutan ini. Aku kembali meminta angin untuk pergi kedua kalinya. Membawa sebuah rasa bernama penyesalan.

-Hikari-

0 komentar:

Posting Komentar