Senin, 08 Agustus 2011

diary of aya kito

Murid Kelas Tiga SMU
Thinking that my boarding school life will soon be coming to an end, I poked my nose into the Executive Committee to excess this year. Aku juga bekerja keras sewaktu pesta Natal, berkeinginan menghibur semua orang. Aku sangat sibuk. Tapi aku puas dengan diriku tahun ini karena aku melakukan banyak kegiatan dengan kepentingan orang lain.
“Aku tidak akan membiarkan hal-hal kecil mengalahkanku,” kata Mama, “jadi, Aya, kau juga harus bertahan untuk perang panjang.”
Aku malu pada diriku yang hanya memikirkan saat ini. Musim semi akan segera berakhir, jadi aku menjulurkan tanganku keluar jendela mobil untuk menangkap daun bunga yang beterbangan. Aku dapat merasakan cinta mama yang dalam. Ia memberikan semacam kedamaian di batinku.
Aku lebih takut ketika bangun di pagi hari dari pada tidur sendiri. Aku butuh satu jam untuk melipat futonku dan memakai seragam, setengah jam berikutnya untuk pergi ke toilet, dan lalu 40 meniy untuk sarapan. Ketiak badanku tidak bergerak dengan lancar, waktu yang dibutuhkan bahkan lebih lama. Aku tidak punya waktu untuk melihat ke wajah seseorang dan berkata, “Selamat pagi.” Aku cenderung melihat ke bawah sepanjang waktu. Pagi ini, aku jatuh lagi dan mendapat luka buruk di daguku. Aku memeriksa apakah ada darah. Tidak ada, jadi aku lega. Tapi aku tahu dalam beberapa hari aku akan mulai merasakan sakit dengan memar di bahu dan lenganku.
Aku kehilangan keseimbangan di bathup dan jatuh ke dalam air dengan penuh gelembung. Anehnya, aku tidak merasa akan mati. Tapi aku melihat sebuah dunia transparan. Kurasa surga seperti itu…
Kuletakkan tangan di dadaku.
Aku dapat merasakan jantungku berdetak.
Jantungku bekerja.
Aku senang. Aku masih hidup!
Gusi di gigi kanan depanku membengkak. Sarafnya mati lagi.
Aku pergi ke grup untuk orang cacat dalam perjalanan malam. Banyak relawan yang datang untuk melihat kami. Seperti anak berumur tiga tahun yang sedang dalam masa pemberontakkan, aku harus terus berucap, “Aku dapat melakukan ini sendiri jadi aku akan melakukannya!” Ini melukai suara hatiku. Etsuyo memakan makanannya dengan berbaring. Seorang gadis lewat dan melihatnya dengan mimik muka yang lucu. Aku senang aku dapat makan dengan posisi duduk. Aku mulai berpikir bahwa kami orang cacat sebenarnya sama, walaupun cacatnya mengambil bentuk yang berbeda.
Rika, adikku yang berumur empat tahun ada bersama kami. Dia mengatakan hal yang kejam:
“Kau tidak cantik, Aya, kau tahu, karena kau wobble.”
Aku langsung memuncratkan tehku ketika mendengarnya. Anak-anak sangat kejam karena mereka mengucapkan sesuatu secara lugas tanpa memikirkan apakah akan ada orang yang tersakiti mendengarnya.

0 komentar:

Posting Komentar